Divonis 7 Tahun Penjara, Imam Bantah Terima Suap

Divonis 7 Tahun Penjara, Imam Bantah Terima Suap

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Vonis tujuh tahun penjara ditambah dan Rp400 juta diberikan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terhadap Imam Nahrawi. Selain itu Majelis Hakim juga menolak permohonan justice collaborator (JC) dan mewajibkan Imam mengganti uang Rp18,1 miliar. Ketua Majelis Hakim Rosmina memvonis mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi 7 tahun penjara serta denda Rp400 juta subsider 3 bulan kurungan. Imam dinilai terbukti menerima suap senilai Rp11,5 miliar dan gratifikasi sebesar Rp8,348 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). \"Mengadili, menyatakan terdakwa Imam Nahrawi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan kesatu alternatif pertama dan dakwaan kedua. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp400 juta subsider 3 bulan kurungan,\" kata Rosmina, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (29/6). Putusan tersebut lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang meminta Imam divonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Majelis hakim yang terdiri atas Hakim Ketua Rosmina, serta hakim anggota Saifuddin Zuhri, Muslim, Ugo, dan Agus Salim juga mewajibkan Imam Nahrawi membayar uang pengganti sebesar Rp18.154.203.882 yaitu sejumlah suap dan gratifikasi yang dinikmati Imam. \"Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa Imam Nahrawi untuk membayar uang pengganti kepada negara sejumlah Rp18.154.203.882 kepada KPK selambat-lambatnya 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Jika dalam waktu tersebut tidak dibayar maka harta benda terpidana disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, dalam hal terpidana tidak punya harta yang cukup untuk membayar uang pengganti, terdakwa dipidana penjara selama 2 tahun,\" lanjut Rosmina. Majelis hakim juga memutuskan mencabut hak politik Imam. \"Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun setelah terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya,\" ucap rosmina. Hakim pun menolak permohonan Imam untuk menjadi pelaku yang bekerja sama dengan majelis hakim. \"Menolak permohonan \\\'justice collaborator\\\' yang diajukan oleh terdakwa,\" kata hakim Rosmina. Dilanjutkan anggota majelis Saifuddin Zuhri, dalam dakwaan pertama, Imam Nahrawi bersama bekas asisten pribadinya Miftahul Ulum dinilai terbukti menerima uang berjumlah Rp11,5 miliar dari Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Johnny E Awuy. Adapun tujuan pemberian suap untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan Bantuan Dana Hibah yang diajukan KONI Pusat kepada Kemenpora tahun kegiatan 2018. Pada proposal pertama, KONI mengajukan proposal pengawasan dan pendampingan senilai Rp51,592 miliar. Kedua, terkait proposal dukungan KONI Pusat dalam pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun 2018 dengan usulan dana Rp16,462 miliar dan diubah lagi menjadi Rp27,5 miliar. \"Hubungan kedekatan Miftahul Ulum dan terdakwa Imam Nahrawi dan disposisi terdakwa menimbulkan keyakinan majelis bahwa uang dari KONI tersebut sudah diterima terdakwa,\" kata Saifuddin. Selanjutnya dalam dakwaan kedua, Imam Nahrawi bersama-sama Ulum didakwa menerima gratifikasi senilai total Rp8,35 miliar yang berasal dari sejumlah pihak. Pertama, senilai Rp300 juta dari Ending Fuad Hamidy. Uang itu diminta Ulum kepada Sekretaris Menpora pada 2015, Alfitra Salamm untuk membiayai kegiatan Muktamar NU di Jombang. Uang Rp300 juta diberikan pada 6 Agustus 2015 di satu rumah di Jombang oleh Alfitra Salamm kepada Ulum di hadapan Imam. Kedua, gratifikasi Rp4,948 miliar sebagai tambahan operasional Menpora dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora 2015-2016 Lina Nur Hasanah. Uang digunakan untuk membayar tagihan kartu kredit Imam, perjalanan ke Melbourne, pembayaran tiket Masuk F1 rombongan Kemenpora pada 19-20 Maret 2016, membayar acara buka puasa, membayar tagihan pakaian Imam, hingga membayar tagihan kartu kredit Ulum. Ketiga, penerimaan gratifikasi sejumlah Rp2 miliar sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs dari Lina Nurhasanah untuk merenovasi rumah pribadi Imam di Cipayung, Jakarta Timur, desain interior Hatice Boutique and Cafe di Kemang, desain asrama untuk santri, pendopo dan lapangan bulu tangkis di tanah seluas 3.022 meter persegi di Cipedak, Jagakarsa. Keempat, gratifikasi sejumlah Rp1 miliar dari Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Program Satlak Prima 2016-2017. Uang diserahkan pada Agustus 2018 melalui bantuan pebulutangkis Taufik Hidayat di rumah Taufik di Jalan Wijaya Kebayoran Baru. Kelima, gratifikasi sebesar Rp400 juta dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) periode tahun 2017-2018 Supriyono sebagai uang honor untuk kegiatan Satlak Prima. Terkait vonis tersebut, Imam tetap mengaku tak pernah menerima uang suap. Imam justru meminta aliran dana Rp 11,5 dari KONI ditelusuri sampai tuntas. \"Mohon izin, melanjutkan pengusutan Rp 11,5 miliar, kami mohon Yang Mulia ini tidak dibiarkan. Kami tentu harus mempertimbangkan untuk ini segera dibongkar ke akar-akarnya. Karena demi Allah saya tidak menerima Rp 11,5 miliar,\" kata Imam menanggapi putusan hakim lewat sambungan video yang terhubung ke PN Tipikor. Atas putusan hakim, Imam Nahrawi menyatakan pikir-pikir untuk mengajukan banding atau menerima. \"Kami maafkan JPU, pimpinan KPK, penyidik, penyelidik, kami tidak akan pernah lupakan apa yang terjadi. Terima kasih Yang Mulia, kami nyatakan pikir-pikir, agar Rp 11,5 miliar dana KONI ini bisa kita bongkar sama-sama. Beri kesempatan saya untuk melakukan perenungan sekaligus pendalaman sesuai dengan fakta-fakta persidangan,\" kata Imam. Sementara itu, pihak Jaksa Penutut Umum KPK juga menyatakan pikir-pikir. Sebelum persidangan Samsul Huda, Kuasa hukum Imam Nahrawi meminta majelis hakim memberikan vonis bebas atas kliennya. \"Kami berharap majelis hakim memutuskan bebas atau lepas dari tuntutan, karena saudara mantan Menpora Imam Nahrawi tidak tahu menahu perkara yang didakwakan kepada yang bersangkutan,\" kata Samsul Huda, Senin (29/6). Samsul menegaskan bahwa semua tuduhan yang diberikan terhadap kliennya tidak terbukti. \"Memang semua tuduhan tidak terbukti. Dia hanya menjadi korban persekongkolan jahat pihak-pihak lain yang justru menjadi pelaku tindak pidana korupsi,\" tambah Samsul. Sedangkan Plt Juru bicara KPK Ali Fikri meminta hakim pengadilan Tipikor memberikan vonis maksimal sesuai tuntutan jaksa, yaitu 10 tahun penjara. \"KPK tentu berharap majelis hakim akan mempertimbangkan seluruh fakta-fakts hukum sebagaimana uraian analisis yuridis JPU KPK dalam tuntutannya dan kemudian menyatakan terdakwa bersalah dengan hukuman sebagaimana amar tuntutan JPU yang sudah dibacakan dan diserahkan di persidangan,\" ucapnya.(gw/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: